Minggu, 16 Desember 2012

Hukum Perlindungan Konsumen


Hukum perlindungan konsumen merupakan sarana seorang konsumen untuk memperoleh hak dan kewajiban, jika seorang konsumen benar-benar tidak melanggar apa yang telah dijadikan sebuah perjanjian, konsumen merupakan pengkonsumsi barang,[1] yang artinya barang tersebut tidak diperjual belikan, sehingga konsumen yang seperti ini disebut dengan istilah konsumen terakhir yang hanya membeli barang untuk dikonsumsi sendiri tanpa di perdagangkan kembali.
Secara universal, berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar teryata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannnya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan maupumn kemampuan atau daya bersaing/ daya tawar ( lihat antara revolusi PBB 39/248 tentang perlindungan konsumen ).[2]
Kedudukan konsumen ini baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu tidak seimbang di bandingkan dengan kedudukan pengusaha.oleh sebab itu untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut di butuhkan perlindungan pada konsumen.[3]
          Sejalan dengan batasan hukum perlindungan konsumen maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah dan hukum yang mengatur dan melindungi konsumendalam hubungan dan masalahnya denagn para penyedia barang atau jasa konsumen.
          Didalam hukum perlindungan konsumen terdapat aspek hukum yang mengaturnya diantaranya : hukum perdata, hukum pidana, tata usaha Negara dan UU 8/ 1999 yang didalam aspek hukum tersebut keseluruhannya membahas tentang hukum perlindungan konsumen.

1.    Aspek Hukum Perdata

   Beberapa kaidah berkaitan dengan aspek hukum perlindungan konsumen seperti yang termuat di dalam KUHPer yang paling banyak di gunakan atau berkaitan dengan asas-asas dan kaidah hukum mengenai hubungan dan masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku ke empat tentang pembuktian dan kadaluarsa,
     Buku ke tiga memuat berbagai hubungan hukum konsumen, hubungan hukum itu Perikatan yang terjadi baik berdasarkan suatu perjanjian maupun yang lahirnya karena undang-undang ( pasal 1233). Hubungan hukum konsumen itu adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234).
     Hubungan konsumen, perikatan karena perjanjian, mengenai pengertian syarat sahnya, akibat-akibat dan penafsiranya serta jenis-jenisnya yang termuat dalam pasal-pasal 1313-1351. dalam bab kelima sampai bab ketujuh Buku Ketiga KUHPer , termuat ketentuan-ketentuantentang perikatan tertentu karena adanya perjanjian-perjanjian yang di tunjukan oleh undang-undang (perikatan jual-beli, pinjam meminjam, tukar-menukar, sewa menyewa dan lain-lain).
     Sedang perikatan karena undang – undang terjadi baik karena undang-undang saja atau karena akibat sesuatu perbuatan (pasal 1352 dan seterusnya).
     Hubungan hukum secara sukarela terdapat antar konsumen dan pengusaha dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Dengan perjanjian atau persetujuan di maksudkan setipa perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri dengan seorang lain atau lebih  ( pasal 1313 KUHPer). Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Apabila ada salah satu pihak lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai perjanjian tersebut, maka dapat terjadi perbuatan ingkar janji atau wanprestatie.
     Misalnya penjual menyerahkan barang atau menyelenggarakan jasa yang tidak sesuai baik mengenai mutu, jumlah , saat penyerahan dan lain-lain sebagaimana yang di perjanjikan. Perbuatan ingkar janji penjual atau penyelenggara jasa ini memberikan hak pada pihak lain (konsumen) untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian dan bunga (pasal 1245 KUHPer).[4]
     Salah satu bentuk perjanjian yang di sebut dalam KUHPer adalah jual-beli, yaitu perjanjian dimana satu pihak (penjual) mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan (barang/jasa), dan pihak lainnya (konsumen-pembeli) membayar harga yang di perjanjikan (pasal 1457 dst. KUHPer). Sedang pasal 1458 memberikan sifat dari perjanjian jual-beli. Pasal itu berbunyi :

     “ jual beli itu dianggap terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut belum diserahkan, maupun harganya belum di bayar.”
     Masalah lain yang timbul dalam lapangan hukum perdata berkenaan dengan perlindungan konsumen justru dalam rangka membagi beban pebuktiannya, dan asa pembuktian itu di atur dalam pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menjadi kendala besar karena mensyaratkan penggugat.[5]

2.    Aspek Pidana

   Cabang-cabang hukum public yang berkaitan dan berpegaruh atas hukum konsumen pada umumnya adalah hukum administrasi,hukum pidana , hukum acara perdata, dan acara pidana, hukum internasional.
     Diantara cabang hukum tersebut, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen.
     Hukum pidana merupakan salah  satu dari hukum public yang penting dalam melindungi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan masyarakat konsumen dari perbuatan-perbuatan (tindak pidana berbentuk kejahatan atau pelanggaran) yang merugikan baik harta benda, kesehatan tubuh maupun ancaman terhadap jiwa mereka.
     Berdasarkan kaidah-kaidah yang termuat dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya di luar KUHP, pelaku tindak pidana diancamatau dijatuhi hukuman tertentu, tergantung pada berat ringannya perbuatan.
     Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP sepenuhnya di selenggarakan oleh alat-alat perlengkapan Negara yang di berikan wewenang oleh undang-undang, untuk itu KUHP (KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No 8tahun 1981L.N. 1981 No.76) menetapkan setiap penjabat polisi Negara republic Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana (pasal 4 jo. Pasal 1 butir 4 KUHP).
     Penerapan KUHP dan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha Negara memang menguntungkan bagi kepentingan perlindungan konsumen. Oleh karena keseluruhan proses perkara menjadi  wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
     Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti rugi.
Sebagaimana diketahui setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak (ganti rugi misalnya) akibat suati perbuatan atau peristiwa, di wajibkan membuktikan hak atau peristiwa itu (pasal 1865 KUHPer).berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian ini selalu sangat memberatkan konsumen.[6]
   Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagi tindak pidana yang sangat berkaitan dengan kepentingan konsumen termuat dalam KUHP maupun diluar KUHP.
Dalam KUHP diantaranya adalah pasal-pasal 204 dan 205 KUHP (menyangkut barang-barang pada umumnya ), pasal 383 dan seterusnya (menyangkut penjualmenipu pembeli tentang berbagai barang, keadaan, sifat banyaknya barang tersebut) dan pasal 386 ( menyangkut khusus barang makanan, minuman dan obat-obatan). [7]
     Diluar KUHP juga terdapat berbagai perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Beberapa diantaranya yaitu :
  1. Undang-undang no.4 tahun 1982 ( Undang-Undang lingkungan hidup-LN 1982-12) tentang lingkungan hidup pada pasal 82 ayat 3 menyatakan tindakan-tindakan tertentu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran.
  2. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang perindustrian yang di atur pada pasal 28 dari undang-undang ini.
  3. Undang-undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang di atur pada pasal 80 dan pasal 86 undang-undang ini.
  4. Undang-undang No 14 tahun 1992 tentan lalu lintas jalan dan angkutan jalan.[8]


3.    Tata Usaha Negara (TUN)

            Tata usaha negara sering dianggap sebagai unsur utama berdirinya suatu negara hukum (rehtsstaat), [9] ekssitensi peradilan  tata usaha negara masih relatif baru diindonesia. Secara substantif pengaturannya di cantumkan dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, namun penerapannya ditunda sekitar lima tahun kemudian.[10]
            Lingkungan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kehakiman bagi para pencari keadilan yang terlihat dalam sengketa tata usaha negara.
Pada pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 2 UUPK memang terkesan hanya membolehkan penggugat konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum, sekalipun demikan masih terbuka penafsiran lain melalui celah yang di buka oleh pasal 46 ayat 2 UUPK.
            Apabila konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup juga jasa penerima layanan publik, tentu peradilan tata usaha negara seharusnya patutjuga melayani gugatan tersebut.
            Untuk memudahkan akses masyarakat, khususnya konsumen dalam berhubungan dengan pelayanan aparat birokrasi negara didirikan khomisi khusus yang antara lain bertugas menerima pengaduan dari masyarakat atas kerugian yang dideritanya akibat prilaku penyelenggara pemerintah.[11]
        
4.    Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
          Menimbang:
  1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
  3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
  4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
  5. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
  7. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
          Mengingat:
          Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar    1945;[12]
       Penjelasan Undang-undang  No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan       Konsumen 

            UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
            Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional yang telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa yang dapat di konsumsi.
            Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak di maksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas.
            Disamping itu undang-undang tentang perlindungan konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada para pelaku usahha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanngraanya.[13]




[1] Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2004, halaman 37
[2] Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 65-66)
[3] Celina tri siwi kristanti, hukum perlindungan konsumen, sinar grafika, Jakarta : 2008 (hal 28)
[4] Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 100-103 )
[5] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia, grasindo, Jakarta :2006 (hal 13)
[6] Dr, dedi harianto, perlindungan hukum bagi konsumenghalia indonesia : 2010
[7] Dr, hj endang purwaningsih, sh, m,hum, hukum bisnis, ghalia indonenesia :2010 (hal 54)
[8] Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 122-123)
[9] http://www.scribd.com/doc/35914052/hukum-perlindungan-konsumen
[10] Susanto, happy. Hak-hak konsumen jika dirugikan, visi media, Jakarta :2008

[11] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia, grasindo, Jakarta :2006 (hal 171-175 )


[12] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia, grasindo, Jakarta :2006 (hal 201-202)

[13] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia, grasindo, Jakarta :2006 (hal 236-237 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar