Hukum
perlindungan konsumen merupakan sarana seorang konsumen untuk memperoleh hak
dan kewajiban, jika seorang konsumen benar-benar tidak melanggar apa yang telah
dijadikan sebuah perjanjian, konsumen merupakan pengkonsumsi barang,[1]
yang artinya barang tersebut tidak diperjual belikan, sehingga konsumen yang
seperti ini disebut dengan istilah konsumen terakhir yang hanya membeli barang
untuk dikonsumsi sendiri tanpa di perdagangkan kembali.
Secara
universal, berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar teryata konsumen
umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannnya dengan
pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan maupumn kemampuan atau daya
bersaing/ daya tawar ( lihat antara revolusi PBB 39/248 tentang perlindungan
konsumen ).[2]
Kedudukan
konsumen ini baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu
tidak seimbang di bandingkan dengan kedudukan pengusaha.oleh sebab itu untuk
menyeimbangkan kedudukan tersebut di butuhkan perlindungan pada konsumen.[3]
Sejalan dengan batasan hukum
perlindungan konsumen maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah dan
hukum yang mengatur dan melindungi konsumendalam hubungan dan masalahnya denagn
para penyedia barang atau jasa konsumen.
Didalam hukum perlindungan konsumen
terdapat aspek hukum yang mengaturnya diantaranya : hukum perdata, hukum
pidana, tata usaha Negara dan UU 8/ 1999 yang didalam aspek hukum tersebut
keseluruhannya membahas tentang hukum perlindungan konsumen.
1. Aspek
Hukum Perdata
Beberapa kaidah berkaitan dengan aspek hukum
perlindungan konsumen seperti yang termuat di dalam KUHPer yang paling banyak
di gunakan atau berkaitan dengan asas-asas dan kaidah hukum mengenai hubungan
dan masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku ke empat
tentang pembuktian dan kadaluarsa,
Buku ke tiga memuat berbagai hubungan hukum
konsumen, hubungan hukum itu Perikatan yang terjadi baik berdasarkan suatu
perjanjian maupun yang lahirnya karena undang-undang ( pasal 1233). Hubungan
hukum konsumen itu adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk
tidak berbuat sesuatu (pasal 1234).
Hubungan konsumen, perikatan karena
perjanjian, mengenai pengertian syarat sahnya, akibat-akibat dan penafsiranya
serta jenis-jenisnya yang termuat dalam pasal-pasal 1313-1351. dalam bab kelima
sampai bab ketujuh Buku Ketiga KUHPer , termuat ketentuan-ketentuantentang
perikatan tertentu karena adanya perjanjian-perjanjian yang di tunjukan oleh
undang-undang (perikatan jual-beli, pinjam meminjam, tukar-menukar, sewa
menyewa dan lain-lain).
Sedang perikatan karena undang – undang
terjadi baik karena undang-undang saja atau karena akibat sesuatu perbuatan
(pasal 1352 dan seterusnya).
Hubungan hukum secara sukarela terdapat
antar konsumen dan pengusaha dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu.
Dengan perjanjian atau persetujuan di maksudkan setipa perbuatan seseorang atau
lebih yang mengikatkan diri dengan seorang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPer). Hubungan hukum ini
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Apabila ada salah satu
pihak lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk memberikan sesuatu, berbuat atau
tidak berbuat sesuatu sesuai perjanjian tersebut, maka dapat terjadi perbuatan
ingkar janji atau wanprestatie.
Misalnya
penjual menyerahkan barang atau menyelenggarakan jasa yang tidak sesuai baik
mengenai mutu, jumlah , saat penyerahan dan lain-lain sebagaimana yang di
perjanjikan. Perbuatan ingkar janji penjual atau penyelenggara jasa ini
memberikan hak pada pihak lain (konsumen) untuk menggugat ganti rugi berupa biaya,
kerugian dan bunga (pasal 1245 KUHPer).[4]
Salah satu
bentuk perjanjian yang di sebut dalam KUHPer adalah jual-beli, yaitu perjanjian
dimana satu pihak (penjual) mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan
(barang/jasa), dan pihak lainnya (konsumen-pembeli) membayar harga yang di
perjanjikan (pasal 1457 dst. KUHPer).
Sedang pasal 1458 memberikan sifat dari perjanjian jual-beli. Pasal itu
berbunyi :
“
jual beli itu dianggap terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah
orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut belum
diserahkan, maupun harganya belum di bayar.”
Masalah lain yang timbul dalam lapangan
hukum perdata berkenaan dengan perlindungan konsumen justru dalam rangka
membagi beban pebuktiannya, dan asa pembuktian itu di atur dalam pasal 1865
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menjadi kendala besar karena
mensyaratkan penggugat.[5]
2. Aspek
Pidana
Cabang-cabang hukum public yang berkaitan
dan berpegaruh atas hukum konsumen pada umumnya adalah hukum administrasi,hukum
pidana , hukum acara perdata, dan acara pidana, hukum internasional.
Diantara cabang hukum tersebut, tampaknya
yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen
atau hukum perlindungan konsumen.
Hukum pidana merupakan salah satu dari hukum public yang penting dalam
melindungi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan masyarakat konsumen
dari perbuatan-perbuatan (tindak pidana berbentuk kejahatan atau pelanggaran)
yang merugikan baik harta benda, kesehatan tubuh maupun ancaman terhadap jiwa
mereka.
Berdasarkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya di luar KUHP, pelaku tindak pidana
diancamatau dijatuhi hukuman tertentu, tergantung pada berat ringannya
perbuatan.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti
yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP sepenuhnya di selenggarakan oleh
alat-alat perlengkapan Negara yang di berikan wewenang oleh undang-undang,
untuk itu KUHP (KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No 8tahun 1981L.N. 1981
No.76) menetapkan setiap penjabat polisi Negara republic Indonesia berwenang
untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang
di duga sebagai tindak pidana (pasal 4 jo. Pasal 1 butir 4 KUHP).
Penerapan KUHP dan perundang-undangan lain
yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha Negara memang
menguntungkan bagi kepentingan perlindungan konsumen. Oleh karena
keseluruhan proses perkara menjadi
wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
Konsumen yang
karena tindak pidana tersebut menderita kerugian sangat terbantu dalam
mengajukan gugatan perdata ganti rugi.
Sebagaimana diketahui setiap orang yang mendalilkan
sesuatu hak (ganti rugi misalnya) akibat suati perbuatan atau peristiwa, di
wajibkan membuktikan hak atau peristiwa itu (pasal 1865 KUHPer).berdasarkan
hukum atau kenyataan beban pembuktian ini selalu sangat memberatkan konsumen.[6]
Beberapa perbuatan tertentu dan
dinyatakan sebagi tindak pidana yang sangat berkaitan dengan kepentingan
konsumen termuat dalam KUHP maupun diluar KUHP.
Dalam KUHP diantaranya adalah pasal-pasal 204 dan 205
KUHP (menyangkut barang-barang pada umumnya ), pasal 383 dan seterusnya
(menyangkut penjualmenipu pembeli tentang berbagai barang, keadaan, sifat
banyaknya barang tersebut) dan pasal 386 ( menyangkut khusus barang makanan,
minuman dan obat-obatan). [7]
Diluar KUHP
juga terdapat berbagai perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan
berkaitan dengan kepentingan konsumen.
Beberapa diantaranya yaitu :
- Undang-undang no.4 tahun 1982 ( Undang-Undang lingkungan hidup-LN 1982-12) tentang lingkungan hidup pada pasal 82 ayat 3 menyatakan tindakan-tindakan tertentu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran.
- Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang perindustrian yang di atur pada pasal 28 dari undang-undang ini.
- Undang-undang no 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang di atur pada pasal 80 dan pasal 86 undang-undang ini.
- Undang-undang No 14 tahun 1992 tentan lalu lintas jalan dan angkutan jalan.[8]
3.
Tata Usaha Negara (TUN)
Tata usaha negara sering dianggap
sebagai unsur utama berdirinya suatu negara hukum (rehtsstaat), [9]
ekssitensi peradilan tata usaha negara
masih relatif baru diindonesia. Secara substantif pengaturannya di cantumkan
dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara,
namun penerapannya ditunda sekitar lima tahun kemudian.[10]
Lingkungan
tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kehakiman bagi para pencari
keadilan yang terlihat dalam sengketa tata usaha negara.
Pada pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 2 UUPK memang
terkesan hanya membolehkan penggugat konsumen diajukan ke lingkungan peradilan
umum, sekalipun demikan masih terbuka penafsiran lain melalui celah yang di
buka oleh pasal 46 ayat 2 UUPK.
Apabila
konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup juga jasa penerima layanan
publik, tentu peradilan tata usaha negara seharusnya patutjuga melayani gugatan
tersebut.
Untuk
memudahkan akses masyarakat, khususnya konsumen dalam berhubungan dengan
pelayanan aparat birokrasi negara didirikan khomisi khusus yang antara lain
bertugas menerima pengaduan dari masyarakat atas kerugian yang dideritanya
akibat prilaku penyelenggara pemerintah.[11]
4.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
- bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
- bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
- bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
- bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
- bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
- bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal
27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;[12]
Penjelasan Undang-undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen
UU
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik
Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Pembangunan
dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional yang telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa
yang dapat di konsumsi.
Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak di maksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan
barang dan jasa yang berkualitas.
Disamping
itu undang-undang tentang perlindungan konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap
memberikan perhatian khusus kepada para pelaku usahha kecil dan menengah. Hal
ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanngraanya.[13]
[1] Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum
Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja
GrafindoPersada, 2004, halaman 37
[2] Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar
harapan, jakarta :1995 (hal 65-66)
[3] Celina tri siwi kristanti, hukum perlindungan konsumen, sinar
grafika, Jakarta : 2008 (hal 28)
[4] Az nasution, S.H. konsumen dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal
100-103 )
[5] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di
Indonesia, grasindo, Jakarta :2006 (hal 13)
[6] Dr, dedi harianto, perlindungan hukum bagi konsumenghalia
indonesia : 2010
[7] Dr, hj endang purwaningsih, sh, m,hum, hukum bisnis, ghalia indonenesia :2010
(hal 54)
[8] Az nasution, S.H. konsumen
dan hukum, pustaka sinar harapan, jakarta :1995 (hal 122-123)
[9]
http://www.scribd.com/doc/35914052/hukum-perlindungan-konsumen
[10] Susanto, happy. Hak-hak konsumen jika dirugikan, visi media, Jakarta :2008
[12] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia,
grasindo, Jakarta :2006 (hal 201-202)
[13] Shidarta , hukum perlindungankonsumen di Indonesia,
grasindo, Jakarta :2006 (hal 236-237 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar